Nama  : Mega Puspitasri
NPM   : 24210313
Kelas  : 2 EB 22
Definisi hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa  Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai  dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ;  hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang  mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual  beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi,  meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan  yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang  bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam  kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh  masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,  perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu  disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah  suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau  lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain  berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini  merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau  peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat  diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan  (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family  law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang  hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum  Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta  kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas  sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana  juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan  pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta  kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu  berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu  prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan  hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan  itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur)  mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap  pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah  perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama  yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan  hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk  memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah  dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa  pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak,  yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan  dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang  abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan  antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu  dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat  sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah  setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,  perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan  undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan  berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak  melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak  berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu  adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar  undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk  tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu  yang telah disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi  undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini  tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari  undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau  dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge  van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang  letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata  mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain  dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan  kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari  sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula  sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)  menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah  wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid)  maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata,  yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di  dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu  perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan  berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian  itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai  hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan  demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP  Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat  antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang  mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang  pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu  perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu  telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya  apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan  harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban  tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara  para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi  perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh  undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa  hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi ,  dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua  belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk  memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah  satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai  dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai  dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu  perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau  perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang  ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan  oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu  dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling  berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang  tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua  mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya  (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,-  dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang  tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai  utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang  menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud  dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang.  Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan  itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur.  Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan  secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa  pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada  debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-  Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh  dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat  piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang  pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan  utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan,  atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut  pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan  kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan  utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur  utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung  utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak  dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu  ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu  mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.  Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam  keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah  atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai  menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH  Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan  suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan  adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan  menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan  debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan  undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau  persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi  hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang  bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A  menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak  menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi  hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim  yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan  hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap  untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B  dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti  karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan  kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang  menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi  pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum,  ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk  melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat  dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap  dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian  yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi  mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus.  Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu  berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang  batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi  perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai  ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu,  perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus.  Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif.  Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak  berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat  itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu  alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan  dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang  ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini,  lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka  perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu”  adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”.  Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan  tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan  praktis.
Sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya/
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar